TENTANG PERSELINGKUHAN ITU 14
TENTANG
PERSELINGKUHAN ITU 14
Tung Widut
Nila bukan wanita agresif
serendah itu. Bukan. Diseruputnya kopi hangatnya untuk menghilangkan
kepanikan. Dipandangi pesanya kembali. Centang dua hijau. Hati Pras semakin
galau. Dia sudah berbuat salah dan jahat kepada Nila.
"Maksudku aku ingin ketemu kamu.
Ada yang ingin aku bicarakan." Tulisan itu dikirim dengan helaan nafas
panjang. Kembali di seruputnya kopi pahit di hadapanya.
Suatu pagi yang cerah. Matahari
tersenyum pada penghuni bumi. Menyapa setiap nyawa yang berkelana di jalanan.
Memberi semangat para pedamba kebahagian. Menemani mengapai impian abadi. Dalam
kefanaan yang terasa. Namun semua itu dusta bagi Pras. Mendung selalu
mengelayut mengikuti kepergianya. Kadang jalanan terasa gelap. Gulana sepuluh
hari membuatnya lemas. Dan sampai kini dia belum bisa memutuskan apa yang
yang dikatan nanti. Kepada yang kemarin menjadi pujaan hati.
Lagu-lagu Didi Kempot yang biasa
mengalun bergantian, Codro, Kalung Emas, Pamer Bojo, Kangen Nikeri yang biasa
menemani setiap perjanan didiamkan. Duka nestapa yang ada.
Setelah
melewati jalur cepat tol Surabaya Kertosono, arah mobil menuju rumah pak
Lurah. Sekedar berbicara sedikit sambil menunggu pesan jawaban dari Nila.
Sejam sudah. Cerita tak berujung dengan pak lurah. Hati Pras belum juga
mengambil keputusan. Apa yang harus dikatakan nanti.
Sebenarnya maksud hati
ingin minta pendapat dari pak lurah, andai dia memutuskan untuk tidak
melanjutkan niatnya. Tapi lagi-lagi kelu bibir dan lidahnya. Sampai pak lurah
berkata.
"Nak Pras, silahkan ke rumah
Nila. Nak Pras sudah lama di sini." Kata pak Lurah mengakhiri pembicaraan.
Mau tak mau Pras pun
berpamitan. Semakin dekat dengan rumah Nila kegalauan makin menjadi.
Sampai suatu saat dia ingat. Diremnya mobil yang di lajunya pelan.
Kemudian kembali mundur. Pras melihat Nila sedang duduk di gubuk yang
kemarin. Posisi masih sama. Menghadap ke sebuah bukit yang menghijau. Dihiasi
ribunya pepohonan hijau. Di jauh sana, di atas langit biru awan kumulus berdiam
seribu bahasa. Hannya menampakan bersoleknya. Burung-burung liar lalulalang mengepakan sayap. Tak saling
menyapa.
Komentar
Posting Komentar