Menikmati Senja

 Senja yang Terabaikan

Tung Widut



Angin berhembus dingin

Rintik hujan setia pada sang katak

Memberikan segalanya bukti pengorbanan

Genangan semakin membungkus tanah yang makin berwarna tua

Bergelombang diterpa detak dari genting rumah



Gemeletok mengalunkan nada berirama

Seindah alunan lagu yang kadang mello

Tak terputus saat malam semakin datang



Senja menjerit terhalang hujan

Tak terima indahnya di telan mentah

Bersolek sejak siang tiada guna

Tingal derai bercampur derasnya hujan


Mata jenuh memandang kelabu

Berbulan sudah rindu jingga di langit  barat

Tersimpan dalam cerita sebuah musim

Menghalangi pertemuan terindah  



Rindu Rembulan

Tung Widut



Malam rintik dingin menghembus

Semilir desir hati rindu

Mengharap jumpa sedia kala

Tersenyum  indah dengan remang

Membuat bayangan dari diri dengan rasa

#

Kini gerimis menghalangi

Hanya denting kesunyian bersama

Tanpa kabar yang jauh di atas sana

Hanya cerita saat bertemu muka

Saat menikmati kopi segelas dengan langit berbinar

#

Tidurlah tanpanya

Akan bertemu dalam mimpi dalam keindahan

Di sana akan bercengkerama tanpa penghalang

Berdansa ceria sampai pagi menjelang

Terukir hanya pribadi yang merasa


#

Rindukan rembulan

Dari hati terdalam

Dan ucapkan kata mesra

Biar angin membawanya melalui sela hujan

Tumpahkan kala ada dalam impian






Menuntun Hari

Tung Widut



Menyudahi hari ini tuk merajut esok

Di atas angan kebahagiaan

Menata rasa hidup dengan sekian beban

Menyisihkan sebagian

Dari hati nurani terdalam


Tertawa tidak selalu kebahagiaan 

Tangisan bukan bunga kehidupan

Jangan terlalu menuntut diri

Diakui sebagai manusia sejati




Berjalan dalam garis titian

Perlahan dengan kaki keyakinan

Bukan suatu dusta bila luka harus dilupakan

Berdiri diantara cinta dan kasih 

Belum waktunya memilih

Agar mereka belahan jiwa tak tersakiti



Pulanglah pada hatimu

Tanpa membawa cinta yang memabukkan

Mengubah hiba dengan ketegaran 

Yakin Tuhan ada antara orang-orang bercita-cita

 




Setengah untuk Ku

Tung Widut




Tanpa mengalir 

Diam dengan garis datar

Warna yang sama berbatas garis



Haus merindukan

Di bawah terik 

Terbayang gemericik dari bawah pepohonan

Mengalir dari celah akar

Diterima bebatuan berlumut yang menyegarkan

Menari di atas sebuah rasa



Gemulai menuruni liku dengan ceria

Sambil bercerita tentang dia berasal

Mengalun irama alam

Anginpun ada bertiup berbisik

Setengah yang ada sudah cukup

Membasahi  matahari yang lantang berjaya


Sementara panas pun sirna

Segar tak hanya terlintas dalam alam pikiran

Teguk dan teguk sampai benar membasah desah

Diam dengan kedamaian




Kaki Kecil

Tung Widut



Langkah kaki mungil

Mengawali hari pagi

Menyongsong matahari 

Cerianya canda tawa

Dengan lonjak lari dan jingkat

Ekspresi polos senyum seadanya



Dia yang menyukai gerak tradisional

Lincah mempesona 

Diiringi  alunan gending ranjak

Menyembah melenggok gemulai

Tanjak mendak  seyum agung terpancar 

Menceritakan budaya dari leluhur

Bangga jadi pewarisnya



Dari hari terdalam 

Terpanggil dengan suka cita

Merasa memiliki yang tahu kapan bersemayam

Di hati para penari kecil



Keringat setiap pekan  pagi

Bercucur untuk mengait gerak-gerak dari sang guru

Yang harus di hafal dan di rasa

Suatu ketika sajian siap di pertunjukan





Tanpa Cerita
Tung Widut


Bulan berganti hampir dua belas kali
Merek diam tanpa angin yang berhembus
Senyap menemani setiap matahari bersinar
Menembus cendela kaca dari sela korden

Sinar terang yang menyinari tak membuatnya riuh kembali
Sejak masa pandemi terbengkalai
Debu setia menyapa disaat ini
Menghiasi wajah yang dulu berseri 


Harum bunga di luaran tak mampu menghapus
Pengab menyisip di setiap sudut
Berdiam tanpa ada yang mengusik
Sampai kapan
Semua tak tahu


Hanya burung dikerindangan yang bebas berkeliaran
Tanpa peduli kelas yang rindu kedatangan
Disapa cerita dengan sejuta goresan
Yang kadang membuatnya harus  menangis
Kini air mata tak lagi berarti
Hanya penantian tanpa pasti





Sepi
Ting Widut


Tak ada bisikan di lorong panjang
Kali pun tak terlihat melintas dengan sepatu mereka
Desir angin lirih menyanyikan lagu
Sepi tanpa penghuni


Satu dua pasang kaki berlalu
Irama sapu mengiringinya bersolek
Memoles habis debu yang  lagi berguna


Garis-garis lantaipun bercerita
Tak pernah terjaga dari mimpi
Hanya menikmati cerita rumput di sana
Tentang sebuah kemerdekaan yang tak pernah terjamah





Menua
Tung Widut



Raga  tak muda 
Keluh persendian  dengan segala rasa
Tak lagi selincah hari kemarin


Matahari selalu berganti malam
Rembulan datang menghitung bulan
Kulit semakin tahu
Beringsut tak mampu makin menahan sinar

Wajah senyum yang masih sama
Terlihat makin samar
Lipatan demi lipatan tergores jelas
Hanya hati yang tak mau berubah


Dalam sebuaj kotak
Bersama para tua mereka bercerita
Tentang cinta yang duturunkan tempatnya
Cinta sejati yang slaing di banggakan 
Untuk anak dan cucu










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lentera Kepiluan

Gadis Senja

Setangkai Mawar Kuning