RASA LEBIH DARI KATA 3
RASA LEBIH DARI KATA 3
Tung Widut
"Mas. Coba mas berfikir positif. Belum
tentu istri dan anak-anak mas mempunyai
tujuan seperti itu. Semua kebutuhan mas di siapkan. Mereka bersikap seperti itu karena ingin
membantu. Agar pikiran mas bisa ringan. Bisa konsentrasi kerja," Suara Zuria tak kalah tinggi.
Kebetulan seorang pelayan
lewat. Zuria segera memesan lagi segelas kopi panas.
"Mbak kopi lagi satu." Lalu dia kembali berbicara
dengan Ardiansyah.
"Mas sudah mencoba bicara baik-baik dengan
mereka?" Suaranya lembut. Tangan
kananya kini justru menepuk-nepuk tangan Ardiasyah.
Ardiansyah
menjadi diam. Zuriapun melajutkan pembicaraan. Ardiansyah
disarankan untuk bicara baik- baik dengan anak istrinya. Berbicara dengan
tenang, kepala dingin, untuk menyelesaikan setiap permasalahan. Cara itu
sebenarnya cara yang diberikan Ardyansyah kepada Zuria. Diterapkan dalam
keluarganya, sehingga sekarang. Rumah tangga Zuria menjadi keluarga
bahagia. Walaupun hasil perjodohan.
Pembicaraannya kembali
terhenti. Sang pelayan mengantarkan secangkir kopi panas.
"Kopinya ku ganti dengan yang panas. Minumlah biar
enakan dibadan." Ardiansyah hanya diam. "Ayolah keburu dingin
lagi." Rayu Zuria sambil menyodorkan.
"Mas. Ardiansyah yang ku kenal adalah laki-laki
lembut. Laki-laki yang tegar, semangat
dan selalu membicarakan setiap masalah. Bukan laki-laki rapuh. Apa yang salah pada diri mas?"
Ardiansyah menggelengkan kepala dengan mata terpejam.
Wajahnya diusap dengan kedua telapaknya. Zuria melanjutkan bicaranya.
"Dulu waktu aku akan menikah dengan orang yang
dijodohkan orang tuaku, di sini, ditempat
ini kita bicara. Mencari solusi yang terbaik. Saat itu keputusan kita, kita berpisah. Kita menempuh jalan
masing. Jujur. Saat itu aku ingin ada elang
perkasa yang menyambar ikan di telaga keruh. Dengan cakarnya mencekeram kuat tanpa ampun.
Membawanya terbang jauh ke hutan di atas bukit
hijau yang indah. Menikmati segarnya gemericik air di sugai kecil. Ternyata itu hanya
sebuah harapan bagiku. Keputusan kita tidak seperti itu. Kita berpisah. Perpisahaanhaan kita
baik-baik. Tak ada dendam. Kita masih saling
hubungan tetap dalam batas. Saling menghargai karena itu sudah keputusan kita. Aku tahu kamu yang paling
sakit saat itu. Sehingga kamu menikah
dengan gadis yang kamu kenal hanya waktu dua minggu. Itu sebuah keputusasaan. Itu saja kamu tak sepuruk
ini." Kata-katanya terhenti sejenak. Dipandanginya laki-laki di hadapanya yang hanya menunduk
diam.
"Kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu. Lihat. Dua
ponselmu selalu berbunyi bergantian.
Ambilah cuti. Gunakan hari-harimu untuk santai bersama keluarga. Berbicaralah tentang keluarga."
Sebentar Zuria menghela nafas.
" Kamu adalah laki-laki terbaik
yang aku kenal. Jangan pudarkan itu dari anganku,"
Katanya lirih hampir tak terdengar.
"Zui, begitu istimewanya aku di hatimu?" Ardiansyah
menyela.
"Seberat apapun itu sudah keputusan kita. Kita harus
mampu menyimpan demi kebahagiaan
keluarga. Kita tidak muda lagi. Anggap hari ini tak pernah berjumpa," Kata Zuria pelan.
"Tidak. Tidak. Aku akan simpan mimpi ini disisa
hidupku." Ardiansyah mengeleng-gelengkan kepala.
Sebenarnya dalam hatinya dia berkata, "Saat itu si
elang tak punya cakar yang cukup kuat untuk mencengkeram hatimu. Dia
menggantikan induknya yang sudah renta. Mencarikan makan tiga
adiknya yang harus juga sekolah. Maafkan Zui." memegang cangkir dan
menyeruput nikmat terakhir kopi hangatnya.
Dedaunan di samping
gazebo basah. Tersiram gerimis setengah jam Lalu. Kini bergoyang
gemulai diterpa angin gunung. Kala mentari bercahaya. Kemilau memantulkan
sinar mengkilap. Kemudian makinredup kala air kenbali kering.
#bakno mek wing kurang piknik.
lakilakijugaingindimengerti.
Komentar
Posting Komentar