RASA LEBIH DARI KATA 2
RASA LEBIH DARI KATA 2
Tung Widut
Zuria berdiri. Dia sekaramg persis di samping laki-laki
itu. Dia ikut menikmati pemandangan. Tak banyak pembicaraan mereka. Keduanya
kini diam menghadap ke belakang gazebo. Sesekali lelaki itu menghela
nafas panjang. Pandangnya menerawang jauh ke alam tak terbatas.
Zuria
melirik ke arah lelaki tegap yang berada disampingnya. Lelaki yang
tigapuluh tahun lalu pernah mengisi hatinya. Masih saja gagah seperti dahulu. Kulitnya
makin bersih. Hanya terlihat guratan di beberapa bagian wajah.
"Ardiansyah,"
Ucapnya dalam hati. Tiba-tiba hatinya berdebar.
"Mas"
suaranya berhenti. Seakan tenggorokanya tercekik menyebut kata itu. Kata itu merupakan panggilan sayangnya
kepada Ardiansyah. Masih adakah hak untuk memanggilnya mas? Setelah
mereka sama-sama berkeluarga. Tapi terlanjur dia mengucapakan itu agak
keras. Kembali keduanya berpandangan agak lama. Mata Ardiansyah memandang wajah
Zuria dalam-dalam. Perasaan mereka saling berkecamuk. Mengembara di dunia lamunan. Akhirnya Zuria menunduk.
Ardiansyah mencoba meraih tangan Zuria. Tapi
Zuria berhasil menghindar. Dia segera kembali ke kursi dan menikmati air
kelapa muda.
"Zui," ucapan Ardiansyah pun terpenggal.
"Mas. Tentu ada hal penting yang ingin mas sampaikan?"
"Terimakasih kamu masih menghargaiku."
Kali ini
Zuria betul-betul tak bisa menghindar. Kedua tanganya didekap Ardiansyah.
Dengan pelan di tariknya, tapi pegangan Ardiansyah lebih kuat.
"Istri dan anak-anaku sudah menganggapku mesin. Aku
bekerja dari pagi sampai malam.
Tak pernah tahu matahari menyinari rumah kami atau tidak. Pulang sudah gelap lagi. Semua gajiku
ku serahkan padanya. Semuanya. Semuanya.
Hidupku hanya untuk mereka. Tapi mereka tak pernah menggangapku manusia. Aku tak pernah diajak berunding. Membeli
apapun tak pernah diajak bicara.
Membeli tanah, perabot, renovasi rumah bahkan membeli mobil tak pernah bicara dulu
denganku. Aku kepala keluarga Zui. Aku yang
berhak menentukan," Ceritanya terhenti sebentar. Helaan nafas
panjang dengan mata berkaca-kaca.
"Istriku
terlalu memanjakan anak-anak. Akibatnya, sampai dia menikahpun masih merepotkan orang tua. Kerja
sengsara sedikit tak betah. Keluar begitu saja. Tak bisa berfikir dewasa sedikitpun, apalagi mandiri.
Jauh. Jauh Zui," Suaranya makin meninggi.
Komentar
Posting Komentar