Diantara Merka yang Ada

 Tiga Puluh Sembilan

Tung Widut


Jari tak mampu menghitung 

Bibirpun tak pernah dengar cuit mengabarkan

Masa berlalu bersama jaman

Melewati jalanan yang hitam halus

Melesatkan roda secepat kilat


Persahabatan yang tak pernah disebut

Terajut kembali dari layar sakti

Tak tiap hari

Tak juga bulan

Tak ada privasi

Biasa saja


 Nun di jauh sana

 Terpisah jarak dan dinding rumah

 Bersama  bertalu dalam reuni 

 Yang tiga puluh sembilan tahun tak jumpa

 Dan selamanya tak jumpa



Kala masih putih biru

Dalam satu kelas kita merayu ilmu

Belajar diajar dihukum pak guru

Kini persahabatan terwujud kembali

Dalam satu ruas buku






Andai Tak Berwarna

Tung Widut



Sekian hari sudah
Tulisan perintah tentang  berlembar tugas
Yang harus kau ukir dalam benak dan nafas
Sebagai pembentuk jiwa 


Dahsyatkan   semangat menyambut asa
Jangan hindari kesuksesan
Ini bukan tekanan yang membuatmu gila


Apa yang kau rasa
Jarak yang kau anggap sebagai penghalang
Pejamkan mata dengan pura-pura
Tau malas yang kau puja

Sekarang siapakah yang menolongmu
Mereka yang duduk di warung kopi
Game yang dulu tak mau kau tinggalkan
Pekerjaan yang memberimu segebok uang
Hanya kamu dan dirimu yang terseok terjungkal setumpuk tugas

Jangan siakan hari terkhirmu
Dengan kotak kosong dalam setiap lebar rapot

Panggillah Tuhan
Hanya Dia yang bisa menyadarkamu
Bukan ocehan dari bibir pasi gurumu
Yang sudah lama kau lupakan



Mengapa Kecewa
Tung Widut

Dalam suasna sepi tak  bertalu
Suara angin pun sirna di telan lengang
Hanya najar dari hati yang beku
Sebenarnya  memang tak peduli hidup

Hanya sanjungan memabukkan yang di butuhkan
Bukan keikhlasan
Bukan juga inginkan sekeranjang ilmu

Biarkan ini terjadi
Hidup bukan hanya berputar dalam bejana
Lebih luas bila terbang  di angkasa
Yang bisa menikmati  alam semesta

Mengapa harus kecewa
Oh salah besar
Bukan kah sudah berjanji
Akan mengukir tanpa henti
Tentang suara hati
Tertuang pada lebar elegi




Di Pagi Hari

Tung Widut



Embum pagi menyalami mentari

Menyapa pengguna jalanan 

Melintar dengan deru terburu

Berlomba dengan dingin mengerjar waktu


Kala mentari perlahan meninggi

Semakin kencang melajukan roda yang mengantarnya

Kesebuah tempat bekerja

Mengais ilmu dan segebok rupiah

Yang nanti dibawanya pulang untuk anaknya


Alam menyapa dengan kesejukan

Warna biru diawal hari 

Dedaunan mengkilap terbalut tetesan air semalam

Berkilauan menari diiringi pantulan mentari

Hanya sebentar

Mentari mengusirnya dan bertahta

Ucapan lebut pun tak terasa

Kini pagi sirna karenanya




Terlalu Pagi

tung Widut




Pagi ini 

Ku kirimkan kata-kata 

Dari layar komputer 

Bercerita tentang sebuah keindahan Keajaiban di pagi hari musim dingin Perlahan jatuh titik-titik lembut 

Segar rasanya meneriman undangan alam yang hijau 


Perlahan tergambar nyata di langit Sebuah awan tebal beraltar  abu-abu 

Lukisan alam yang menakutkan 

Menghipnotis mata dengan penuh ketakutan


Detik belum lama berlalu

Desing angin mengamuk  

Menerbangkan ketakutan yang makin meraja

Dalam untaian  bencana


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lentera Kepiluan

Gadis Senja