KABUT DALAM BADAI 7
KABUT DALAM BADAI 7
Tung
Widut
Setelah
itu hp-nya diletakkan. Kini sarapan pagi yang tadi tak sempat. Menu ayam bakar. Menu kesukaan Arera. Rasa ayan bakar di
warung itu lumayan enak. Itupun pendapat Arera yang juga disetujuai Indu.
“Enak, walaupun warung di pinggir jalan bersih dan
enak,” kata Arera saat itu. Sambil
mengacungkan kedua jempol tangan manisnya.
Indu masih ingat itu. Jempol
dengan cat kuku warna ungu. Sangat cocok dengan jemari mungil Arera.
Kali
ini lidah Indu tak merasakan kenikmatan apapun. Hambar rasanya. Sambal yang
disajikan pun tak membuat dia merasa kepedesan.
Kembali
mobil dilajukan dengan pelan. Tanjakan
dan belokan tajam membuat Indu berhati-hati.
Musim hujan seperti sekarang ini
membuat jalanan lebih licin.
Berbahaya bagi mobil Indu yang hanya dinaiki seorang saja.
“Ciiiiiiiit,”
terdengar decit ban agak keras. Perlahan
rem ditekan nya kuat kuat. Mobil yang dinaiki Indu tetap saja mundur. Hatinya mulai berdebar. Dia mulai bingung, tak mungkin dia turun dan
mengajal mobil dengan batu. Sementara di
sebelah kanan jurang yang sangat dalam. Hati Indu semakin berdebar kala di sekitar tempat itu kelihatan sepi. Tak ada satupun orang atau kendaraan lain yang lewat. Setir
mobilnya di belokan tajam ke kanan . Berharap
bisa menabrak tebing daripada harus masuk jurang.
Satu,
dua, tiga, mata Indu di pejamkan rapat-rapat. Siap terbentur saat mobil
benar-benar menabrak.
“Duk,”
suara lirih terdengar. Bersamaan dengan berhentinya mobil yang dikendarai.
Karena merasa aneh, Indu segera membuka mata. Mobilnya tidak jadi menabrak. Dia menoleh ke kiri .Tak ada
satupun orang.
“Tok
tok,” Indu terjingkat kaget mendengar
ketokan kaca di dekat telinganya. Seorang anak laki-laki berdiri di situ.
“Ada
yang bisa saya bantu pak?” tanyanya.
Indu
membuka pintu.
“Sudah
saya ganjal. silahan bapak melanjutkan dengan konsentrasi,” kata itu
melanjutkan bicara.
Indu
segera merogoh dompet di saku celananya. Diberinya selembar
uang lima puluhan ribu. Tapi anak itu tidak mau menerima.
Komentar
Posting Komentar