KABUT DALAM BADAI 3

 


KABUT DALAM BADAI 3

Tung Widut

 

            “Mas aku hanya jalan-jalan saja. Jangan nuduh macem-macem. Saksinya Wena     anak kita. Dia lo sering ku ajak,” kata Risa sewaktu diperingatkan untuk tidak          travelling.       

            Itulah yang tak  sukai Indu. Indu merasa cemburu kalau istrinya bersama laki-laki.  Tapi dia tak mau lagi bertengkar. Pupus sudah harapan kepada  istrinya. Rumah tangganya menjadi garing, jalan sendiri-sendiri. Hanya waktu resmi-resmi saja antara Indu dan Risa persamaan. Tak banyak yang tahu.  Semua menganggap keluarganya baik-baik saja.

            Sekitar dua bulan lalu, di tengah malam  Indu dan Arera bertelepuon.  Bercerita kesana-kemari. Bercerita tentang masa kecil mereka yang lucu.  Di saat mereka berdua bercerita tiba-tiba di hp Indu  ada suara laki-laki yang membentak-bentak.

            “Kamu siapa?” tanya suara lelaki.

            “Nama  saya Indu. Ada apa ini,” tanya Indu balik keheranan.

            “Saya Badra, suami Arera. Kamu jangan macam-macam dengan istri  saya,”          bentak orang yang memperkenalkan diri sebagai suami Arera.

            “Sebentar Mas,”  jawab Indu agak gemetar.

            Indu mulai menceritakan asal mulanya dia kenal  dengan Arera.  Arera yang selalu mengirim pesan lebih dulu padanya.  Mengaku tidak mempunyai suami.  Tinggal sendirian.  Hubungannya dengan Arera selama ini hanya makan bersama  teman-temannya. Tak ada kejadian khusus.  Malam ini  baru dia tahu. Indu minta maaf karena ini kesalahpahaman.

            “Maaf-maaf wae, enak temen omonganmu(maaf-maaf aja, enak betul bicaramu, jawa),”  kata Badra sangat emosi. Mulai saat itu berjanji tidak lagi terhubungan dengan Arera. Semuanya sudah selesai.

            Hari-hari berikutnya rasanya sepi bagi Indu. Biasanya  selalu saja ada pesan yang masuk yang menanyakan kabarnya. Bukan hal mudah untuk melupakan ibu muda yang cantik, sayang, perhatian, manja.  Tapi mau apalagi, ternyata Arera masih mempunyai suami.

            Siang yang sangat panas. Matahari menyengat bagai peluru yang sedang perang. Memerangi penghuni bumi. Semua  ingin mencari tempat  teduh.  Tak semudah itu. Pekerjaan tak mungkin di tinggal  hanya demi kata dingin. Termasuk Indu dan teman-temannya. Mereka  sedang berada di warung kopi warung yang biasanya dia mangkal. Sekitar lima  kilo meter dari rumahnya. Mereka mencegah hawa panas yang menyerang saat itu dengan secangkir kopi. Dibumbui tertawa bersama teman sejawatnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lentera Kepiluan

Gadis Senja