Puisi Kita


 

Masih Pagebluk
Tung Widut

Pagi semburat merah
Kokok ayam sudah lelah
Terdengar parau menyayat
Timbulkan keraguan kaki melangkah



Embun kering tersapu sinar mentari
Hanya panas mulai menyengat tak henti
Burung mulai bertengger di dahan kering


Lapak yang sudah buka sejak dingin pagi
Bangku-bangku sudah mulai penuh terisi
Berjubel tak  takut oleh pandemi


Ingkarkan  pagebluk 
Dari cerita mereka yang jauh di sana
Di tempat para orang-orang lugu
Yang hanya tahu mati karena Allah memanggil
Untuk menghuni  surga dari buah khikmadnya
Menyanjung sang pencipta



Segurat Wajah Tua

Tung Widut 



Selalu membangunkan kokok ayam tak pernah ditinggalkan

 Mengucapkan selamat pagi mentari 
 
Terucap dari bibir penuh bijaksana 

Jalan menyusuri gang menuju gudang sang tuan 

Menderukan mesin mobil Sejauh ibu kota 

Sampai malam tiba 

Pulangg setelah matahari benar tenggelam di bawah bantal 

Selalu setia menunggunya 

Meja makan yang tanpa piring Hampa 

Sejenak bercerita dengan air

 Tentang lelah sehari ini 
 
cerita akan terjeda dengan ayunan kaki menuju warung nasi 

Setiap kali hampir tutup sebagai penghantar tidur malam ini




Temaram Lampu Jalanan
Tung Widut

Di kota pandemi lampu bersinar redup
Terhenti oleh rasa takut yang menghantui
Itu bukan pilihan tapi sebuah kenyataan
Hanya mereka yang menentang arus demi kepentingan yang hakiki

Waktunya  binatang malam bebas menari sesukanya
Menikmati  indahnya kota yang tak  bising oleh cerobong knalpot
Di bawah lampu jalanan mereka bermain bersama teman
Bercengkerama tentang kejadian kemarin malam
Yang hari ini sampai nanti
Mereka saling berjanji 
Menikmati keindahan malam di kota pandemi

Para pencari rejeki memaparkan dagangan
Sebuah harapan yang akan dibawanya pulang
Tak ada lagi yang menyapanya


Hanya cahaya redup lampu jalanan
Sebagai saksi duka memupus cerita
Sabar mendengarkan desah keluhan
Sampai tengah malam kesetiaan






Ilustrasi
Tung Widut


Kan perasaan sejati 
Kupercayakan padamu sampaikan ceritaku
Senyum yang menawan tanda aku suka

Derai air mata ketika hati benar teriris
Tak tahu sedih yang mendalam
Sembilu  mencacahnya sampai lumat tak  berbentuk

Desir helaan nafas panjang  menerbangkan berita yang membekas
Tak tahu harus melangkah ke mana kaki lunglai 
Hanya pejaman mata yang tipis menjadi tapir bayangan dan kenyataan

Warnai kesungguhan tak ada lagi Biarkan mereka membaca sesuka hati
Sesuai angan yang terbentuk dari kata
Berdasarkan imajinasi sebagai ungkapan perhatian

Mereka mempunyai nilai atas rasa yang dinikmatinya
Semua bebas
Bebas
Bebas







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lentera Kepiluan

Gadis Senja

Setangkai Mawar Kuning