NAMAKU HISAM BUKAN CORONA

NAMAKU HISAM BUKAN CORONA Tung Widut “Buk Aku ikut, aku nggak mau di rumah sendiri. Takut.” Rajuk Hisam kepada ibunya. Suwartini, sang ibupun semakin bingung. Pasalnya mertua satu-satunya sakit. Mengeluh badanya lemas. Sudah dua Minggu tak nafsu makan. Bila diaksa jarak lima menit Kembali muntah. Badanya yang semula gemuk sekarang tinggal tulang belulang. Bahkan sejak pagi mulai mengeluh sesak nafas. Dibawa ke ruah sakit keputusan terakhir setelah berunding dengan suaminya. “Yah, mbok ya diantar sendiri aja. Si Hisam bagaiman.” Sang suami dengan wajah kecewa besikukuh mengajah istri dan anaknya ke rumah sakit. “Nggak enak sama saudara, kalua kau tak ikut. Dia tuh mertua kamu.” Tanpa menjawab sepatah kata, Suwarti segera mengemas barang keperluan mertuanya itu. Setengah jam kemudian mertuwanya diangkut memakai mobil pic up yang biasa dipakai Sarmadi untuk berdagang sayur. Bak bagian belakang digelar sebuah kasur using. Di kasur using itulah Mursai dibaringkan. Ditemani satu-sutnya menantunya Mursai dibawa melaju ke rumah sakit umum yang jaraknya lima belas kilo meter. “Maaf bu, anak kecil tidak boleh masuk. Apalagi saat pandemic seperti sekarang.” Kata perawat yang menerima Mursai di pintu rumah sakit. Rasa kecewapun diterima oleh pasangan Wartini dan Sarmadi. Tanpa menjawab rasa kecewa itu diungkapkan dengan sedikit percecokan. “Bapakmu itu kalua dibilangi nggak nurut?” “Kamu sendiri memang tega anakmu sendirian di rumah?” “Ya, sampean sendirilah.” Pertengkaranpun terhenti kala perawat menjelaskan bila yang boleh menunggui satu orang saja. “Ngeyel kamu kang. Sekarang bagaimana aku sama Hisam pulangnya?” Suaminya segera mengeluarkan uang lima pulung ribuan dan menyuruh istrinya itu pulang. Naik ojek cara satu-satunya. Tiga hari sudah mertua Wartini sakit. Dihari ketiga ini telinganya seakan disambar petir. Badanya tiba-tiba terasa panas. Detak jantungnya semakin cepat. Kupingnya serasa mendadak mendenging setelah suaminya pulang dan mengabarkan mertuanya positif corona. “Emak, positif corona. Sekarang dibawa ke rumah sakit kota untuk isolasi. Tidak boleh ditemani, tidak boleh dijenguk.” Sarmadi menghembuskan nada was-was. Belum lagi Sarmadi genap bercerita pada istrinya terdengar ucapan salam. Setelah membalas salam Wartini membeuka pintu. Serombongan tamu telah berdiri di teras rumahnya yang belum ada atapnya. Pak lurah, dua perangkat desa dan tiga orang dari Kesehatan mendatanginya. Setelah mengajukan beberapa pertanyaan, pengawai Kesehatan menulis di sebuah buku besar. Ditulisnya beberapa angka dan huuruf sesuai dengan pertanyaan. Ada beberapa pertanyaan yang para pegawai Kesehatan itu saling pangdang kepada temanya dan tersenyum. Semua itu kelihatan dari matanya yang dihalangi APD. “Maaf, besok bapak, ibu dan adik ada undagan repit di puskesmas.” Lagi-lagi Suwari dan Sarmadi tak bisa menyangkal. Dia hanya lulusan SD, sedang para pegawai itu sarjana. Tentu lebih tahu. Jantung Wartini kembali berdesir. Corona yang begitu menakutkan kini bersanding denganya. Dengan anak semata wayangnya yang masih balita. Rasanya ingin mejerit mengutuknya. Meminta keadilan pada Tuhan mengapa keluarganya disapa oleh sang biadap itu? Tiga hari sudah jantungnya selalu senam. Dag dig dug di dada membuat anganya melayang tentang jumlah meninggal karena corona. Hampir seharian tak pernah lepas dari layar hp kuno yang dia miliki. “Buk sama hp disuruh apa saja” tanya Samardi. “Ya, o;ah raga, cuci tangan, pakai masker.” “Nah sekarang lakukan. Jangan hanya cemas tanpa melakukan. Kalua ada gejala tak enak di badan segera bilang pak Lurah.” Panas Mentari di pagi hari mulai menyengat. Segera anaknya diajak ke halaman depan. Disuruhnya besepeda di bawah sinar matahari. Sedang Wartini menyapu di halaman. Beberapa tetangga yang lewatpun tak menyapanya. Saat Wartini menyapa hanya terdengar teriakan “Yo yu.” (Iya mbak). Sambal mempercepat jalannya. Wartini hanya menghela nafas panjang. Semua orang takut mendekatinya. “Le, ibuk ambil cikrak dulu sebentar.” Suara Wartini lantang terdengar. Kakinya sambal melangkah ke belakang rumah. Ketika dia Kembali terdengar beberapa anak kecil berteriak. “Pergi kau corona, pergi. Corona. Corona. Corona.” Disela teriakan anak-anak kecil itu terdengan anaknya menangis mengerang-erang. Wartini segera menuju jalan di depan rumah mencari anaknya. Tiba-tiba, badanya lemas. Kakinya rasanya tak dapat berdiri tegak. “Astaghfirullah hal adzim." Melihat anak semata wayangnya, Hisam keningnya mengucur darah segar. Dia pun tak lupa berteriak histeris mengumpat anak-anak itu. “Ku laporkan polisi kau, melempari anakku sampai berdarah.” Wartini segera membopong anaknya ke dalam rumah. Disekanya luka itu dengan miyak tawon. Obat seadanya di rumah itu. Bibirnya tak henti-hentinya mengomeli anaknya. Agar tak lagi keluar rumah. Sang anak yang tersedu-sedu menahan sakitpun tak menggubris. Anya melihat bibir ibunya yang tak henti gerak. Selesai di balut dengan kapas sang anak kembali ke luar rumah. Anak yang bergerombol di jalan depan rumahnya diteriaki. “Namaku Hisam bukan corona.wek wek wek wek.” Teriaknya lantang sambal menjulurkan lidahnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lentera Kepiluan

Gadis Senja