TIKUNGAN MENUJU SUGA (2,3,4,5)

 


"Met, ibu
berangkat dulu," suara ibunya terdengar diikuti suara pintu tertutup.  Kembali angan Slamet tak menentu. Dia ingin memiliki sepeda motor seperti teman-temannya. ingin sekolah tinggi. Bisa menjadi pegawai. Banyak uang bisa membeli mobil layaknya orang yang dilihat di jalanan. Keinginannya itu berjubel  di otaknya. Hilang lalu kembali lagi.

            Sampai ibunya kembali dari Surau pun dia masih meringkuk di amben. Amben  bambu di ruang tamu.  Sarung sarung masih menyelimuti tubuh mungil Slamet.

            Apakah kamu sakit?”

Tak ada jawaban sama sekali. Slamet bergerakpun tidak. Tangan kasar emaknya memegang kening sang anak.   Lalu duduk di dekat anak semata wayang itu.

            Tadi malam dapat berkatanan. Saya gorengkan.  Kamu bangun, salat, sarapan, lalu pergi ke kendang. Emak mau bekerja di ladang Pak Yanu.”

Bu Yumaida sudah mengira anaknya sekarang libur sekolah. Seperti hari minggu biasa, tapi yang membuat beda  kali ini Slamet  tak jamaah subuh.

 

            Perlahan Slamet menegakkan badannya Menguap beberapa kali lalu meregangkan otot-ototnya dibalik sarung. Beberapa detik gemericik air kucur di samping rumah bernyanyi bersama dingin. menyucikan wajah lusuh yang akan menghadap kepadaNya. Derit bilah bambu kini terdengar. Setiap kali Slamet melakukan gerak salat bilah-bilah bambu berderit. Bilah bambu pada amben  yang hanya cukup satu orang. Berada di depan kamar sang emak.  Amben  khusus untuk salad.

             Mak nanti saja sarapannya,” Slamet pergi menyusup di antara kabut pagi. Meninggalkan emaknya yang masih sibuk meniup-niup api ditunggu tanah.

            Bagaimana Met sudah sehat kamu?” Sapa Pak Rono ketika Slamet sampai di depan kendang.

            “Sudah Pak,”

            “Sebenarnya kamu nggak sakit kan? Saya ngerti. Ya memang harusnya sesekali emakmu itu kamu temani tidur. Apalagi kalau waktu hujan.  Siapa tahu ada apa-apa. Mudah-mudahan semua sehat.” Tanpa menjawab Slamet segera mengangkat makanan ayam yang berada di karung.

            Suasana sepi di luar kandang dia tinggalkan. Suasana yang  sangat indah. Embun pagi menyamarkan  pepohonan hijau di pegunungan. Daun-daun kelihatan mengkilap karena basah oleh embun.  Kini  Slamet berada di suasana yang lain. Dua ribu ayam potong menantinya sambil duduk-duduk.  Bau menyengat dan rasa hangat di dalam kandang berlawanan dengan di luar sana. Samping kiri dan kanan tertutup terpal. Dua kandang dengan ukuran 16 m x  5 m itulah tempat dia bekerja setiap hari.

            Brak….”

            Terdengar suara benturan yang keras di kejauhan. Selamet dan Pak Rono yang baru saja meletakkan karung pakan ternak pun mematung. Memasang telinga untuk mendengarkan kelanjutan dari suara benturan tersebut. Mereka berdua mesin motor  yang menderu. Mereka  saling berpandangan.

            Kecelakaan,” kata Slamet. Tanpa berpikir panjang  segera berlari ke luar kendang. Berhenti sebentar untuk mendengarkan sumber suara. Keduanya lalu berlari ke ujung pertigaan. Betul juga, ternyata  ada sebuah sepeda motor Vario yang bagian depanya hancur. Kelihatannya baru menabrak pohon besar yang berada di situ. Tangan pak Rono segera meraih kunci sepeda motor dan memutarnya ke kiri untuk mematikan.  

             Slamet celingukan ke kiri ke kanan mencari pengendara motor Vario.  Menyibak beberapa semak belukar yang ada di depannya.  Setelah  mendengarkan erangan Slamet dan pak Rono mengetahui seseorang tergeletak di bawah sana. Di bawah jurang setinggi lima meter.  Mereka menghampiri. Ditelantarkan kan seorang yang tengkurap orang itu. Dia  mengerang kesakitan. Pak Rono mencoba melepas helm yang dipakai.  Setiap kali tubuhnya dipegang, orang itu menjerit mengerang kesakitan.  Juga saat berusaha di gotong ke atas.

            “Kita minta bantuan saja,” kata Pak Rono. Slamet dengan cekatan berlari naik ke ke Jalan Raya. Dia menyetop  sebuah mobil pic up yang sudah lewat.  Mobil pic up itu berlalu begitu saja, tanpa memperdulikannya. Setelah agak lama melintas juga sebuah sepeda motor yang dikendarai dua orang berboncengan. Kedua tangan Slamet diayun minta perhatian pada orang yang melintas di jalan,  tapi tak juga dia mau berhenti.

            Pak tak  ada yang mau berhenti.”

            Kamu cari bantuan ke pak Lurah,” teriak pak Rono.

            Gawai yang berada di sakunya segera dikeluarkan. Dia memencet-mencet berapa huruf lalu ditempelkan pada telinganya. Berulang kali,  tapi kelihatannya tak ada jawaban sama sekali.

            Langsung ke runahnya!” teriak Pak Rono lagi.

             Slamet pun berlari menuju kandang mengambil sepeda motor Suzuki RC yang tinggal mesin dan besinya.  Dengan tergesa di nyalakan lalu gas mulai ditancapkan menuju jalan kecil yang hanya cukup satu mobil saja.

            Ada kecelakaan. Ada kecelakaan,” teriak Slamet setiap berpapasan dengan warga desa. Sesampai di rumah pak Lurah ternyata pintu terkunci.  Pak Lurah sudah pergi. Dengan berat hati Slamet kembali lagi ke tikungan.  Sesampai di tikungan  semuanya sudah terbayar, warga desa rupanya sudah berkerumun untuk menolong korban kecelakaan itu. Semua sudah ditangani warga desa, kini  Slamet dan pak Tono kembali ke kendang.

            Dari mana kalian? Nggak usah ikut-ikutan. Kamu tahu, kalau ayam-ayam ini sampai terlambat kamu beri makan bisa berakibat  fatal. Bisa mati semua,” kata haji Muhyi. Nada suaranya meninggi.  Matanya melotot memerah, sambil berkacak pinggang di depan pintu kendang.

            “Lagian sudah jam segini, kamu nggak sekolah. Sana sekolah dulu. Mau jadi apa kamu. Malas sekolah. Biar dikerjakan Rono sendirian,” lanjut haji Muhyi.

             “Saya libur pak,” jawab Slamet singkat.

             Lalu keduanya mengangkat karung-karung makanan ayam sampai selesai.

 

            Ini karung terakhir yang dipanggul Slamet. Dia letakan dengan keras disamping tiang kendang.  Slamet lalu menduduki  karung sampai lama.

             “Ada  apa?” suara pak Rono  yang tiba-tiba berada di sampingnya.

            “ Ya Allah wajahmu pucat sekali. Keringatmu ke luar sampai membasahi kaos.     Kamu belum sarapan?”

            Slamet menganggukkan kepala tanda mengiyakan pertanyaan pak Rono. Pak Rono  segera menyuruhnya pulang untuk sarapan. 

            Sore hari setelah salat ashar seperti biasanya. Slamet,  David,  Yoga,  dan Charles berkumpul di balai depan kendang. Empat cangkir kopi menemani keempat sahabat itu menikmati sore.  Kabut yang mulai turun menyamarkan pemandangan di bawah sana. Lampu di kampung bawah mulai terlihat kemerlip. Suara musik di dalam kandang tetap saja benderu. Menenangkan sang ayam untuk tetap nyaman berada ada di istananya.

            “Met. Met. Woi sini!” suara  Pak Rosad dari seberang jalan.

             Pak Rosad  pemilik warung kopi yang berada di pojok pertigaan. Warung yang buka semaunya saja.  Pak Rosad tidak tinggal  di warung itu.  Bila malam sudah mulai datang pak Rosad menutup warungnya lalu dia pulang ke rumahnya. 

            “Ini ada  nasi,  tapi hanya ada lauk tempe,” tawarnya.

            Slamet tak pernah menolak apapun yang diberikan, apalagi saat itu berempat berkumpul. Semua makanan pasti akan habis. Sambil menunggu dibungkuskan  nasi,  Slamet berdiri di depan warung.  Jalanan  sudah mulai sepi. Dari bawah terlihat sebuah mobil berjalan lambat.  Mata Slamet selalu mengikuti mobil itu. Sebentar tak terlihat karena ada tikungan sebelumnya. Terhalang  pepohonan.  Slamet tetap menanti. Ingin tahu  mobil itu ketika lewat ditikungan.   Betul  feeling Slamet.  Begitu belok kanan di tikungan,   di situ pula ada tanjakan yang ekstrim.  Belum sampai lama mobil  itu kelihatannya mundur perlahan. Tak bisa menaiki tanjakan.

            Mundur woi, mundur,” suara Slamet berteriak sambil berlari.

            Dia segera mengambil batu dan mengajalnya di-ban.  Tapi naas mobil itu tak berhenti tapi justru semakin mundur.  Rasa  panik dirasa Slamet. Dia berusaha untuk mengangkat sebuah batu yang lebih  besar. Terlambat, dia sudah tak mampu menggajal.  Mobil itu mundur pelan. Ternyata ke tiga temanya berusaha menahan.

            “Brak,” mobil  menabrak pohon beringin yang berada di seberang jalan.

            Rupanya teman-temanya tak mampu menahan.

Semuanya terpaku diam, juga sang sopir. Dia beberapa saat tetap duduk di belakang setir.

            Tok, tok, tok, tok,” Slamet berusaha mengetuk pintu mobil.  

            Ada yang bisa saya bantu Pak?” suara Selamet menyadarkan sang sopir. Pintu kelihatan mulai dibuka. Seorang laki-laki tinggi tegap setengah baya ke luar diikuti para penumpang yang berada di belakangnya.  Bapak separo baya itu segera melihat ke  mobil bagian belakang. Mobil sedikit rusak karena benturan dengan pohon beringin.  Seorang  mengikutinya  bermaksud melihat jiga kerusakan.

            “Oh,” jeritnya ketika  melihat di belakang mobil sebuah jurang setinggi tujuh meter.  Ibu-ibu itu menjerit sambil kedua tangannya ditutupkan ke wajah.  Setelah itu dia mundur beberapa langkah.           

            “ Ya Allah Mas, terima kasih ya sudah dibantu. Andaikan tidak…….,” diam dan menghela nafas. Ibu-ibu itu mengeluarkan dompet dari tasnya. Uang seratusan  empat lembar diberikan kepada Slamet.

            Mas saya terima kasih,” ucap ibu-ibu itu berkali-kali.        

            Walaupun sudah ditolak beberapa kali oleh Slamet dan kawan-kawan, ibu  itu memaksa untuk menerima uang pemberiannya.  Bahkan dia menambah satu lembar menjadi limaratus ribu.

            “Mas terima saja. Ini sebagai ucapan syukur saya  telah selamat dari maut,” kata ibu itu sambil memasuki mobil.

            Akhirnya mobil itu kembali ke arah semula. Tidak berani melanjutkan perjalanan. Slamet dan kawan-kawan memberi aba-aba. Carles mengucapkan terima kasih sambil melambaikan tangannya. Sepeninggalan mobil mewah itu Slamet segera mengambil sepeda motor yang hanya kerangkanya. Dia menancapkan gas menuju surau. Adan magrib sudah sejak tadi selesai. sesampainya di surau ternyata Slamet hanya kebagian satu rakaat terakhir. Tak apalah, daripada tidak. Seperti biasa, saat selesai salat Slamet membaca Al qur’an walaupun satu ayat. Lima belas menit sudah waktu di habiskan di surau. Dia  menutup dan mengembalikan Al qur’an di rak pojok surau.

            “Le, mengapa  kamu tadi terlambat. Ibu kan sudah bilang mendengar adan langsung ke             surau,”pertanyaan dari ibunya itu didengarkan dengan kata tersengal-sengal. Tahu betul wajah ibunya sedang marah. Kata-katanya harus, tapi dari raut wajah dan gerakan bibirnya sangat terlihat kalau ibunya sedang marah. Mata merahnya  membuat  sangat takut sama ibunya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lentera Kepiluan

Gadis Senja

Setangkai Mawar Kuning