Tour Seni Tradisi Reog Ponorogo
TOUR SENI TRADISIONAL REOG PONOROGO
Sebagian Sandaran
Hidup
PENAMPILAN GRUP GABUNGAN DENGAN BERBAGAI ATRAKSI
Hari Minggu di daerahku di
datangi sekelompok kesenian tradisional Reog Ponorogo. Grup keliling yang
mempertontonkan kesenian
tradisional asli Ponorogo. Seminggu
sebelum tampil sudah pementasan .Sehari sebelum penampilan ada “ledang/ bende”
keliling. Minggu paginya semua “dadak
merak” yang berjumlah sembilan belas ditata berjajar di pinggir jalan dekat
pasar untuk menarik calon pengunjung.
Waktu yang ditentukanpun tiba.
Jam 13.00 wib pengunjung mulali memasuki lapangan yang diberi sekat terpal
hijau agar penton di luar tidak dapat manelihat. Tiketnya sangat terjangkau
untuk semua kalangan, cukup Rp 8.000 untuk dewasa dan Rp 5.000 untuk anak-anak.
Pada penampilanya mereka terdiri
dari gabungan beberapa grub yang bergabung menjaadi satu. Ini di buktikan
jumplah “dadak merak” 19 buah yang ditamppilkan. Penampilan aslinya hanya 2,
itu saja karena ada adegan dadak merak tarung.
Jam 13.30 wib 19 dadak merak merak mulai memasuki arena. Enam dadak merak
di duduki penari jatulan cantik yang
menari-nari di atas kepala Singa sebagai lambang Dewi Songgo langit.
Dengan semangat sang pengrawit
mengiringi gerak dadak merak yang meliuk-liuk, beberapa dadak merak sesekali atraksi beguling di tanah sambil
tetap menyangga -+ 50 kg berat dadak merak. Alat musik yang digunakan sebuah
gong, satu kenong, satu kendang dodog, terompet dan di modifikasi dengan sebuah
drum.
Sang penyanyi tak kalah
semangatnya mengalunkan lagu-lagu, mulai dari lagu dangdut, pop, kosidah,
sampai lagu perjuangan.
Seorang warok di ikuti beberapa”gemblak” dan seorang yang memakai topeng merah. Mereka menari-nari
seirama iringan kendang yang tegas untuk penekanan gerak-gerak mereka. Waroklah
yang menata semua yang ada di arena pentas.
Semua pemain sudah memasuki
arena. Posisi menjadi bentu U. Para penari jatilan putri turun dan menari
melenggak-lenggokan tubuhnya dengan
gemulai. Dadak merak ditata bebaris berjajar kiri dan kanan arena.
Mulailah masing-masing anggota beratraksi koprol, kayang, atau
melenting ke udara. Untuk atrasi kelompok mereka menampilkan atraksi bersusun
ala chilider dengan berbagai gaya disambung koprol dengan melewati 3 orang
pemain. Tak kalah menariknya atraksi mengupas
kelapa dengan gigi dan memecahnya dengan kepala. Sang Mc yang sejak awal
menerjemahkan setiap atraksi dan menceritakan tetang asal muasal reog ponorogo
menyiarkan “ Kalau anda percaya kupasan kelapa (sepet bahasa jawa) di letakkan
di kandang ternak maka ternak anda akan
sehat dan segera beranak,dan bila anda
tidak percaya niscaya tidak akan terjadi apa-apa”. Sontak pengunjung berebut kupasan kelapa. Bahkan dari ujung
lapanganpun ada yang menyerbu ke arah pojok.
Setela sekitar 3 jam beratraksi
dengan ditabuhi irama kas dengan kendangan yang enak dibuat gerak semua dadak
merak menari membentuk garis
lurus.....Hemmmm kelihatan indah sekali.
Dengan meliak liukkan dadak merak seorang penari putripun ada yang
mengkat, Padahal beratnya sekitar 50 kg.
Atraksi yang terakhir yaitu
pemuda dengan menggunakan topeng merah memanjat tali yang di ikatkan ke dua
jajar bambu tanpa bantuan apapun. Dengan
santainya tiduran di atas, mengangkat ke dua kaki, pura-pura naik sepeda,
bahkan bergelantungan hanya dengan kaki yang mengait pada tambang.
PEMAIN REOG PONOROGO
Di jaman yang serba modern .
Kita bisa menikmati semua jenis dan model hiburan yang serba bagus dengan
ukuran internasional. Di tengah perkembangan teknologi sekarang ini ternyata ada
sekelompok seniman desa yang tidak pernah menempuh pendidikan seni secara
formal berani menampilkan suatu grub reog yang di gunakan untuk sarana mencari
uang. Mereka rela merantau ke daerah-daerah yang puluhan kilo jaraknya bersepeda motor, untuk menampilkan
reog ponorogo. Spekulalsi yang sangat besar. Suatu kesenian yang berani di
tampilkan di daerah lain. Apakah penonton selalu banyak? Apakah hasilnya bisa
menghidupi anggotanya yang berjumlah puluhan itu?
Tentunya bukan suatu hal yang
sepele. Harus mempunyai rasa percaya diri yang tinggi dan keiklasan yang luar
biasa, demi cintanya kepada kesenian daerah dan ingin melestarikan. Mereka menggantungkan hidup kepada kesenian reog. Mereka bukan
orang kaya raya yang sekedar menyalurkan hobi kulit tubuhnya hitam kusam atau
pagawai yang sedang menjalankan tugasnya.Ini terlihat dari pakaian yang
dikenakan lusuh. Mereka pekerja kasar. Mereka lupakan sawah ladang di kampung
halaman. Memilih reog keliling sebagai sandaran hidup. Pada penampilanya yang
harus mengurus ijinlah, promosilah, menyiapkan alatlah....bukan pekerjaan yang
sederhana dan menjajikan. Sehari menjelang penampilan harus menyiapkan arena
yang telah dibawanya. Malamnya mereka hanya tidur di tengah lapangan tanpa
menggunakan tenda yang memadai.
Makananpun hanya di warung pojok
sederhana seadanya. Maka bukan pemandangan yang aneh bila satu batang rokok di
hisap beberapa orang. Kebersamaan itulah yang tidak terlihat di pecinta seni
lain. Tapi kadang orang memandang sebuah kehinaan.
Mereka adalah seniman sejati yang melupakan timpukan uang di negri orang
dan memilih di negeri sendiri hidup dengan seni. Mampukah kita mejadi seniman
seperti mereka?
Komentar
Posting Komentar