SEBATAS PITA MERAH PUTIH DI LENGAN
SEBATAS
PITA MERAH PUTIH DI LENGAN
“Hei...hei...
sini”,Suara teriakan seorang laki-laki dari kejauhan.
Aku
tersentak. Ku toleh asal suara itu, seorang laki-laki itu melambaikan tangan
padaku. Isyarat agar aku mendekat padanya. Langkahku hentikan. Kembali aku
menatapnya.
“Ya,
kamu sini”, Lanjutnya.
“Kamu
tahu mengapa aku panggil?, Mengapa kamu
terlambat?, Rumahmu mana?”, Tanyanya nerocos.
“Kok
diam”, Tanyanya lagi.
“Eh...eh...maaf
saya terlambat karena kesiangan bangun”, jawabku dengan gemetar.
“Kamu terlambat, sebelum masuk
kelas kamu besihkan dulu kamar mandi putri, kalau sudah selesai lapor sini
dulu”, Perintahnya.
“Ya kak”, Jawabku sambil geloyor
pergi.
Hari ini memang pertama aku
masuk kuliah. Masa orientasi mahasiswa baru di sebuah universitas swasta di
kota kecilku. Aku sengaja tak sekolah jauh ke luar kota agar aku bisa pulang
setiap hari. Biaya hidup lebih murah, tak usah membayar rumah kost dan makanpun
tetap dengan orang tua. Aku hanya anak seorang guru dan ibuku berjualan nasi
pecel. Tiap pagi aku membantu ibu di warung.
Pelangganya cukup banyak. Apalagi kalau hari pasaran. Tempat yang strategis, di sebelah barat pasar
desa dan timur pasar hewan. Kadang karena banyak yang harus ku kerjakan di
siang hari menyiapkan masakan esok harinya aku kepayahan, aku sering tidur
terlalu pulas. Al hasil pagi telambat bangun. Kali inipun begitu juga aku
terlambat masuk hari pertama kuliahku.
“ Cepaaaaaat.......”, Suara
kakak tadi mengagetkanku.
“ Cepat, acara sudah mulai”,
Lanjutnya sambil berjalan ke luar.
“ Ya
kak”, Jawabku.
Setelah ku siram semua segera
ku susul langkahnya.
“ Sudah kak” Laporku
“
Ok, siapa namamu?”, tanyanya.
“Mirna,
Mirna Kurniasari”, Jawabku.
“
Aku Mahendra, Mahendra Suryadarma”, Jawabnya sambil mengulurkan tangan.
“
Terimakasih”, kusambut jabat tangannya sambil sedikit menundukkan kepala.
“
Silahkan masuk ruangan”, mempersilahkanku.
Ketika
aku masuk sebuah ruangan acara sudah mulai. Aku mendapat duduk paling belakang.
Hari ke-dua aku datang tidak
terlambat, langsung menuju tempat dudukku kemarin. Aku duduk dekat Sela,
Fatimah, dan Oki. Mereka teman yang baik, sehari bersama saja sudah akrab
seperti bertahun-tahun kenal. Kami berempat bercanda cekakak-cekikik. Ada saja
cerita mereka bertiga yang membuatku tertawa.
Tak terasa jam menunjukan pukul
10.30. WIB waktunya materi menyanyikan
lagu-lagu daerah. Setelah menyanyikan lagu Gundul-gundul Pacul bersama teman sekelas akan ada penampilan grup band dari
kampus. Sambil menunggu persiapan di
sampaikan beberapa pengumuman dari kakak senat mahasiswa secara bergantian.
Badanku terasa panas, ku letakkan kepalaku di atas bangku. Pengumuman
selanjutnya ku dengar suara kakak laki-laki “ Perhatian, yang mempunyai sepeda
motor dengan nomor polisi AG 4342 L silahkan maju kemari”
“ Saya ulang, yang mempunyai
sepeda motor dengan nomor polisi AG 4342 L silahkan maju kemari” katanya.
“ Yang kemarin merasa
berboncengan 3 silahkan maju,” pengumuman itu di ulangi lagi dengan kalimat tak
sama.
“ Ayo maju, ayo maju,”
gertaknya.
“Mir”, suara Oki memegang
pundakku sambil berjalan ke depan. Aku tetap saja dengan posisi semula. Sesamapainya
di depan,
“ Siapa teman kamu satunya
lagi,” suara pertanyaan itu ku dengar agak tak jelas.
“ Mirna, mana Mirna,” Suara
lanjutan. Aku tersentak ketika namaku disebut. Ya...aku baru ingat kalau
kemarin membonceng Oki dan Sela.
“Mirna, silahkan maju,” ku lihat
Hendra yang bersuara mengulangi perintahnya sambil melanbaikan tangannya
padaku. Akupun segera berjalan ke depan.
“ Sialan kena lagi,” Kataku
dalam hati.
“ Mirna, mengapa kemarin kamu
berboncengan 3?” Tanya Hendra.
“Mengantarkan saya” Jawab Oki ke
tempat kost.
“ Sepeda motor siapa itu,” tanya
lagi.
“ Mirna” jawab Oki dan Sela
bersamaan sambil menunjuk padaku.
“Saya,” Jawabku bersamaan dengan
jawaban Oki dan Sela.
“ Ya.... sekarang mana
kuncinya,” pintanya.
“ Buat apa?,” Tanyaku mulai
kesal.
“ Jangan banyak tanya, bawa
kuncinya kemari!” Perintanya. Akupun
Segera mengambil kunci. Selama
aku mengambil kunci Hendra menjelaskan mengapa kami bertiga dipanggil ke depan.
Menurutnya karena melangkar peraturanlah, gak pantes dilihatlah, mahasiswa
barulah.......Setelah kunci ku serahkan, Hendra membebani kami bertiga untuk
bernyanyi bersama dan mencabuti rumput dihalaman aula. Amanlah hukuman menyanyi
karena Sela memang seorang penyanyi.
Saya dan Oki hanya pengikut penderita menahan malu, yang paling susah mencabuti
rumput saat tengan hari. Terik matahari seakan membakar kulit. Keringat kami
bertiga membasahi baju putih yang kami pakai. Ternggorokan serasa kering.
Setelah jam pulang kami ber-3
aku, Sela dan Oki mencari kak Hendra untuk meminta kunci. Hem.... orang satu
ini memang sulit di cari. Setelah mendapat
beberapa pentunjuk dari kakak mahasiswa lain kami temukan kak Hendra di
kantin kampus. Mengucapkan Oki salam
ketika langkah kami sudah dekat dengan duduk kak Hendra. Setelah salam di jawab
Oki pun langsung meminta
“ Kak ambil kunci,”
“ Rumah kamu di mana Mir?,”
tanyanya.
“ Ok, aku nebeng ya. Kalian
pulang saja dulu, biar Mirna mengantarku pulang!,” minta kak Hendra.
“Tapi kak,” kataku berusaha
mengelak.
“Nggak tapi-tapian,” lanjutnya.
Oki dan Sela pun melangkah pergi meninggalkan kantin.
“ Silahkan duduk, aku ambil tas
dulu ya,” kata kak Hendra sambil berdiri meninggalkan ku.
Agak lama juga aku menanti,
hatiku mulai kesal. Suasana kampus dah sepi. Hanya terlihat beberapa pegawai
yang berjalan diantara sederet ruangan. Aku berdiri berjalan mondar-mandir dan
duduk lagi. Begitu telah ku lakukan berulang beberapa kali sambil terus
memperhatikan tempat parkir sepeda motor. Aku merasa di permainkan. Kurang
ajar, mentang-mentang senat ngerjain aku seenaknya. Kini terlihat dari jauh di
naiki kak Hendra. Aku segera berdiri di teras kantin.
“ Ayo” katanya sambil memberikan
helm padaku.
Dia menaiki sepeda lambat
banget. Perutku sudah terasa perih. Ketika berhenti di lampu merah dia membuka
kaca helmnya terus berkata, “ Ada yang marah nggak ya kalau tahu kamu aku
bonceng begini?.” Aku hanya tersenyum saja menahan rasa kik kuk . Dia berusaha
melihat ekpresiku dari kaca spion. Perjalanan dilanjutkan tanpa kata dari dia.
Sesampai di barat alun-alun sepeda motor di belokkan pada sebuah cafe.
Ya... sebuah cafe. Cafe Halte yang
menyajikan makanan siap saji untuk ukuran kocek pelajar dan mahasiswa. Cafe
yang agak jauh dari jalan raya ini
termurah dan lumayan enak tempatnya.
“ aku lapar banget, makan dulu
yuk,” ajaknya. Aku hanya mengikuti dari belakang. Aduh hatiku mulai nggak
karuan antara malu, sungkan, takut ada teman yang tahu, pokoknya salah tingkah
banget.
Setelah dia menuliskan sebuah menu dia bertanya padaku,
“Kamu
pesen apa Mir?”
“
Sama deh,” Jawabku.
“
Jangan sama ah, ngak asyiiiik. Kamu mie goreng sama es jeruk aja ya,” Katanya
minta persetujuan. Hanya ku jawab anggukan kepala sampil menerima telp dari
ibuku.
“Siapa
yang telepon?,” tanyanya.
“
Ibu,” Jawabku singkat.
“
Mir boleh lihat koleksi foto kamu di Hp
nggak,” pintanya.
“Boleh,
ni,” sambil ku sodorkan Hpku padanya.
Kami
berdua melihat foto sambil menunggu pesanan. Ada beberapa foto yang dia lihat
ulang. Sesekali dia bertanya tetang foto. Sehabis melihat foto di hpku kak
Hendra membuka foto-foto di hapinya. Membuka-buka sambil menjelaskan
masing-masing foto. Ada satu foto yang tetap aku ingat Siska. Dia hanya menyebut nama tanpa suatu
penjelasan. Dua Hp sudah dilihat foto-fotonya ,selanjutnya kami saling berfoto
bahkan ada beberapa foto selfi kami berdua. Ya.......aku hanyut dengan suasana
kegembiraan yang saat itu ada. Seakan kami sudah lama kenal lama.
Pesanan
sudah selesai diantar kami makan berdua. Beberapa sendok kak Hendra memaksa
untuk ku suapi dengan alasan ingin merasakkan mie gorengnya. Akupun disuapi oleh kak Hendra. Apakah itu yang namanya romantis. Aku masih
merasakan kali itu.
Selesai
makan aku antar kak Hendra sesuai permintaan. Motor langsung saja di masukkan
halaman rumah. Samar-samar dari dalam rumah terdengar suara riuh beberapa
gadis. Belum lagi kami masuk terdengar keras suara dari dalam,“Eh dia ngajak
cewek, laku juga dia.” Tanganku dibimbing
kak Hendra memasuki ruang tamu. Diperkenalkan dengan tiga cewek cantik yang tadi ada di foto Hp. Nia, April,
Lena ditambah lagi tante kak Herman, bu Sasmi.
Hari
ini hari ketiga orientasi. Rasanya malas sekali, badanku tersa panas tapi
terkena angin sedikit saja sudah kedinginan. Aku tutup kaca nako disebelahku.
Aku juga gak banyak canda, matahari di luar bersinar sangat menyengat. Tiba-tiba dari hidungku
keluar darah mimisan. Aku segera melangkah keluar sambil menunduk. Kedua tangan
ku tengadahkan agar darah yang keluar tak mengenai rok dan baju putihku. Tak
seperti mimisan biasa, keluar banyak sampak mengucur. Kakak-kakak panitia
orientasi panik menolong ku. Aku dibimbing ke ruang kesehatan. Setelah dibersihkan darah-darah ditanganku aku berbaring menunggu datangnya dokter.
“Mir,
kenapa Mir?” tanya kak Hendra tergopoh. Aku hanya membuka mataku.
“Gimana
rasanya?” Tanyanya lagi sambil memegang tangan dan dahiku.
“Badanku rasanya panas”.
Jawabku.
“ Kamu buat istirahat aja, aku
temeni”, anjurnya.
Ada dua jam dia duduk
disampingku. Sesekali berjalan keluar menengok keluar, sesekali memegang dahiku
untuk mengetahui kondisiku. Aku tetap memejamkan mata tapi tak bisa tertidur.
Suatu waktu, terasa tanganku dipenggang seseorang. Terdengar lirih, “ Maafkan
aku yang Mir, aku sering hukum kamu. Itu alasan aku ingin selalu lihat kamu,
ingin dekat kamu. Aku sayaaaaang.” Aku masih pura-pura tidur, seakan tak dengar. Pada hal jantungku
berdetak cepat, badanku menterasa lebih panas. Pikiranku melayang apakah
mungkin kak Hendra anaknya orang kaya, cakep, rapi, punya banyak teman cewek
cantik tertarik padaku,sedangkan wajahku pas-pasan,anak penjual nasi pecel.
Hem......mustahil kan. Tapi mengapa dia mesra banget padaku, mengenalkanku pada
keluarganya, mengajakku makan,mengirimiku sms tiapa malam, berjam-jam menungguiku di ruang kesehatan dan
sekarang mengantarkanku pulang.
Pagi yang sangat cerah, badanku
sudah terasa sehat. Hari ini aku memetuskan untuk masuk kuliah setelah tiga
minggu di rumah. Memaju baju warna pink dengan jilbab pink motif bunga-bunga
kecil, warna kesukaanku. Saat aku bercanda di bawah pohon mangga tiba-tiba Oki
menyenggolku.
“Tuh,tuh,tuuuuuuuh,” sambil
matanya tertuju pada kak Hendra.
Ya, aku lihat kak Hendra jalan
memasuki pintu gerbang ke-dua dengan seorang cewek. Mesra sekali, dia
menggandeng tangan sang cewek tanpa memperdulikan semua mata yang tertuju
apadanya. Cewek itu salah satu cewek yang ada di foto Hp kak Hendra. Siska ya,
Siska, aku ingat namanya. Aku sudah siap-siap memberi senyum yang termanis bila kak Hendra sudah
berada dekat di depanku. Senyumku, akhirnya ku kulum sendiri, senyum semanis
madu berubah menjadi sepahit buah Maja.
Andai Oki, Fatimah dan Sela tahu, wajahkku berwarna merah, rasanya bak disiram
air panas. Kak Hendra selintas saja memandangkku. Setelah itu tak perdulikan
aku, bahkan terlihat tak pernah mengenalku. Apa arti sms yang tak pernah absen
setiap malam, walau hanya sekedar mengucapkan “selamat tidur semoga mimpi indah
bersamaku.” Aku segera mengalihkan pandangan mereka dengan canda-candaku. Canda
seadanya walaupun terpaksa.
Aku harus bisa menata hati dan
perasaanku. Jangan sampai orang lain tahu tentang keakraban yang pernah
terjalin antara aku dengan kak Hendra. Tentang perasaanku, harapanku kepada kak
Hendra. Dia sudah punya kekasih yang resmi, semua orang di kampus tahu. Semakin
hari cerita tentang pasangan setia nan mesra Hendra dengan Siska semakin
menumpuk. Tak mungkin aku atau orang
lain lagi mengharapkan diantara keduanya. Keadaan itu mampu ku simpan hampir dua
bulan sudah. Ketika siang aku minum
es tiba-tiba mataku ditutup dari
belakang.
“Ayo aku siapa,” Sapa sang penutup mata.
“Ihhhhh ngapain sih,” kataku
risih.
“Tebak aku siapa,” lanjutnya.
“ku nggak nebak,” jawabku.
“Ba.............,” katanya
sambil wajahnya di tunjukakanku dari belakang.
Ya Allah wajah kak Hendra yang
kulihat. Oki, Fatimah dan Sela segera berdiri meningggalkanku.
“ Eh....eh.....eh.....tugu,”
pintaku kepada tiga temanku. Aku tak bisa menyusul mereka karena kak Hendra
menahanku dari belakang. Mereka tetap saja pergi tanpa perdulikanku.
“Aku ada kuliah,” kataku
“Aku mau bicara sama kamu,”
timpalnya sambil telunjuknya di tempelkan hidungku.
Aku tak perduli keinginannya.
Aku segera berjalan cepat menyusul ketiga temanku keluar kantin.
“Mir......,” panggil kak Hendra
sambil berjalan menyusul dibelakangku.
“Mir....Mirna...dengarkan aku.
Aku mau bicara sama kamu tenatang kita,” lanjutnya. Aku tetap melanjutkan
jalanku.
“Mirna...aku serius Mir. Aku
ingin kamu jadi pacarku. Aku dah bisa memutuskan Siska, Mir,” Hendra berusaha
menjelaskan. Aku setengah berlari menaiki tangga menuju ruang kuliah atas. Kak Hendra segera berlari dan berhasil meraih tangan kananku. Ditariknya
kuat-kuat tanganku dan kini pundakku
ditahan menghadap kak Hendra.
“Mir....maafkan aku selama ini,
aku serius mengatakan ini padaku Mir,” ungkapnya.
“Maaf aku ada
kuliah,” jawabku sambil berlari-lari kecil masuk ruangan.
Minggu pagi
itu udara sangat cerah. Seperti biasa aku selalu membantu ibu di warung pecel.
Pembeli laki-laki lebih banyak karena hari ini hari pasaran, pasar hewan dekat
rumah. Ternyata ada yang tidak biasa di warung kami. Terlihat kak Hendra masuk
dari pintu sebelah barat. Memakai topi merah, kaos putih, celana olah raga
pendek warna merah, dan bersepatu putih. Pakaian yang serasi dengan kulitnya
yang sawo matang. Kak Hendra kelihatan lebih tampan. Rupanya dia ingin ke
warungku memakai alasan olah raga bersepeda. Aku berusaha tenang seakan tak
mengenalnya walaupun dada ini rasanya dak dik duk. Sengaja aku diam biar
diladeni ibuku. Biar tahu rasa, telah
mempermainkan perasaanku seenak pusarnya sendiri. Lebih baik aku meladeni yang
lain saja. Hanya sesekali ku lirik gerak geriknya. Taternyata dia juga selalu menatapku, memperhatikan semua
gerakku. Tatapan kami beradu, aku tetap tenang dan pura-pura tak
memperhatikanya. Sudah setengah jam di warung, dia kelihatanya sengaja tak
segera membayar agar aku yang meladeni. Hatiku makin risi aja.
Akhirnya aku agak mendekat. Betul
juga.
“Sudah Mir,
nasi satu, teh hangat satu tambah rempeyek satu,” tanyanya.
“Lima puluh
ribu,” jawabku seperlunya.
“Hah.....mahal
amat,” lanjutnya dengan senyum khasnya sambil mengulurka uang seratus ribuan
dari dompet bermerk.
“BI AR KA MU NGGAK KE SI NI LA GI,” jawabanku aku
pelankan sabil meberikan uang kembali dengan ketus.
Komentar
Posting Komentar