RONDA AKANKAH MENJADI BUDAYA YANG HILANG
RONDA AKANKAH MENJADI
BUDAYA YANG HILANG
Saya tinggal di sebuah
desa 17 km dari pusat kota dan 4 km dari kantor kecamatan. Rumahku di pinggir
jalan raya antar kecamatan yang dilalui angkutan umum setiap saat, tidak
terlalu pelosok. Kalau bulan puasa tiba jalan depan rumah makin ramai orang
lewat ke pasar maupun ke kota untuk membeli persiapan hari raya. Ada yang
kurang puasa kali ini, yaitu tak setiap malam ada warga yang ronda.
Ronda adalah usaha untuk
membangunkan warga untuk makan sahur di bulan puasa dengan kentongan atau barang
lain yan menghasilkan bunyi-bunyian. Mereka mengkreasikan cara menabuh agar
terdengar seindah mungkin.
Di masa kecilku sekitar tahun 1980-an ronda di lakukan oleh
anak-anak sedesa hanya dengan kentongan saja. Mereka kebayakan usia SD dan SMP.
Anak-anak ini membuat kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 anak, bahkan bisa
lebih. Biasanya pembuatan kelompok berdasarkan tempat surau/ langgar mereka
taraweh, tadarus,dan mereka tidur.Sengaja mereka membuat kelompok banyak anak
karena pada jaman itu belum ada listrik masuk desa. Mereka mengandalkan senter
atau obor (oncor jawa) sebagai penerangan, atau bahkan tidak membawa alat
penerangan di saat bulan purnama. Dengan memakai sarung yang disrempangkan di
bahu, celana pendek dan memakai kopyah(songkok) mereka memukul kentongan dengan
cara yang berbeda sehingga menimbulkan bunyi yang rancak. Sambil berteriak “sahuuuurrrrrr
sahuuuurrrrrr” mereka tak segan mengelilingi setiap rumah warga agar warga benar-benar
terbangun. Maka tak jarang pula cerita dari mereka ada yang masuk lobang tempat
pembuangan sampah (joglangan jawa) di pekarangan belakang si empunya rumah.
Bahkan ada pula dari mereka yang digigit ular. Akhirnya ronda dengan
mengelilingi rumah warga inipun tak lagi dilakukan. Hanya meronda di
jalan-jalan.
Perkembangan selanjutnya, sekita 3 tahun kkemudian. Tidak hanya menggunakan kentongan saja sudah mulai
di tambah benda-benda yang menghasilkan suara keras contohnya kaleng, drum,
besi dsb. Kentongan yang terbuat dari
mambu sudah mulai di modifikasi menjadi calung yang bila di tabuh
menghasilkan 2 atau 3 jenis bunyi
sehingga mirip iringan jaranan. Dirasa lebih enak di dengar ada dari
kelompok mereka yang benar-benar
menggunakan alat musik gong, kenong,kluncing sebagai alat meronda. Karena alat
yang digunakan sudah alat-alat besar dan berat yang tak mampu dibawa sambil
berjalan, mereka menggunakan gerobak
untuk membawanya. Jalan-jalan yang dilalui saat merondapun makin
terbatas pada jalan-jalan besar di desa.
Pada tahun 1985-an selain menggunakan alat musik tradisional
muncul model meronda menggunakan seperangkat sound sistem yang biasa digunakan
saat hajatan. Salon spiker aktif diletakkan di atas mobil pick up dan
menggunakan mesin diesel sebagai sumber listrik. Mesin disel di letakkan pada
gerobak yang di kaitkan dibagian belakang mobil pick up. Dengan memutar lagu-lagu baru yanng sedang
hit saat itu mereka membangunkan warga dengan memanggil nama-nama yang dikenal
oleh peronda melalui pengeras suara saat tepat melewati depan rumah. Cara
meronda ini dilakukan para remaja usia atau bahkan oranng-orang dewasa.
Jangkauan merondapun lebih luas, bisa satu wilayah kecamatan sambil bersaing mempromosikan sound sistem mereka.
Mulai tahun 1990 sudah ada listrik masuk desa. Selain meronda menggunakan alat musik tradisional yang dinlakukan oleh
mereka yang usia anak-anak dan sound sistem keliling ada model meronda baru. Di
mashjid atau surau membangunkan warga menggunakan pengeras suara. Ada yang
lebih menarik yaitu adanya grup sholawatan yang membawa alat musiknya
berkeliling memakai sepeda motor untuk meronda. Bila ada lampu jalan yang
sekiranya tiangnya pendek bisa di jangkau
untuk diambil strumnya guna menyalakan alat musik mereka berhenti mengaitkan
kabelnya. Mereka memainkan 3 atau 4 lagu
di setiap perhentianya. Grup ronda ini termasuk banyak penggemarnya.
Mereka tidak sekedar bangun untuk makan sahur tapi juga keluar rumah untuk
menikmati lagu-lagu yang disajikan dari dekat. Mereka para penggemar
bergerombol menyakksikan setiap tapil, bahkan bisa reques lagu-lagu yang di
sukai. Kelemahanya tidak bisa dibunyikan di sepanjang jalan. Hanya
tempat-tempat tertentu mereka bisa membunyikan alat musiknya.
Tahun demi tahun seiring majunya teknologi. Mulai jam beker yang diprogram dengan memutar
secara manual, jam meja yang memakai baterai , dan sekarang ditahun 2014. Orang
ingin bangun tidur tinggal memprogram di Hp sudah berbunyi sesuai yang
diinginkan. Bahkan dengan HP android,bbm
dan bild up mereka bisa saling membangunkan melalui grup-grup yang
dibentuk.
Anak-anak sudah tidak rajin lagi tadarus di langgar. Sehabis
tarawih mereka pulang tak mau lagi tidur di masjid atau surau. Mungkin ini yang
menggeser budaya ronda. Memang masih ada 1 grup ronda tradisinal yang
membunyikan calung dan kendang yang terbuat dari paralon yang ujungnya di balut
ban mobil bagian dalam. Inipun sudah tidak setiap malam meronda. Tahun depan,
depanya lagi masihkah ada yang mau meronda??????????????????????????????????
Komentar
Posting Komentar