KATA INDAH BUAT PEMBURU DOLAR




KATA INDAH BUAT PEMBURU DOLAR
“Sudah makam mam” sapanya  setiap pagi, siang dan malam hari. Kata-kata itu sudah 40 hari tak terlulis lagi di hpku. Kata yang dulu dikirim mas Rama. Laki-laki asal jawa tengah yang kukenal di sebuah model chating. Umurnya 3 tahun lebih muda  dariku. Aku benar-benar hilang akal, yang kurasa hanya kangen selalu menderaku. Laki-laki muda ini yang bisa membuat aku tersenyum saat keluargaku di goncang masalah 2 tahun lalu.
Sambil duduk di taman. Aku kembali menerawang kejadian masa lalu.Suamiku mas Bagus menyeleweng setelah ku tinggal di negeri orang. aku tak tahu.....dialah yang sangat bersemangat mendorongku untuk pergi ke luar negri. Katanya dia pingin punya mobil. Mas Bagus sendiri kerja tani sawah milik orang tuanya. Penghasilan yang sangat minim  di tabung untuk mebeli sebuah mobil.
 “ Dik kapan ya kita punya mobil?” katanya suatu  ketika ada mobil bagus lewat di depan rumah kami.
 “ ya nanti kalau kita sudah punya uang” jawabku.
 “ Apa uang tabung kamu nggak cukup untuk beli yang lama aja” tanyanya mulai mendesak.
“ Nggak mas” jawabkku singkat.
“ Kita tanami dulu tanah yang baru kita beli, hasilnya kita tabung untuk beli mobil” aku balik jawab.
            Hari demi hari. Desakan itu makin sering. Di satu sisi ku ingin memenuhi keinginan suka amiku tercinta. Di sisi lain tabunganku tinggal sedikit untuk biaya sekolah Asnala anak perempuanku yang kini mulai masuk TK.
            Setelah beberapa kali diskusi aku harus kembali ke negeri Beton. Ini kali kedua aku harus tinggal di kota Hongkong. Dulu ketika lajang 5 tahun di negeri ini aku bisa nabung dan membuat rumah yang aku tempati dengan mas Bagus.
             Nasibku kurang baik ternyata, setahun aku di Hongkong mas Bagus meyeleweng dengan perempuan lain. Keluarganya pun menelponku dengan nada menyalahkanku. “Ndri ....bisa tidak bisa kamu harus pulang sekarang, suamimu Bagus dapat cewek lagi. Perempuannya minta di nikakhi” kata Sri kakak iparku. Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong. Aku duduk lemas sambil memeluk mesin cuci yang masih menderu. Baru kemarin mas Bagus menelponku seperti biasanya. Semua baik-baik saja seperti tak terjadi apa-apa.
            Semalaman Hpku berdering terus. Hanya kupandangi nomer-nomer yang menelponkku, tak kuasa aku mengangkatnya, hanya derai air mata yang ada.
            Sebelum subuh aku sudah keluar kamar melakukan aktifitas, sama sekali tak bisa tidur semalaman. Rupanya majikanku memperhatikan keadaanku.
Dia berkata” suamimu menelponku beberapa kali, katanya kau tak angkat telpon darinya”.
 Ku hanya diam sambil menunduk.
“Ndri.....” panggilnya.
“Ndriiiiii........” pangginya lagi.
“ Ya” jawabku.
“ Ada apa dengan keluargamu” tanyanya sambil menghapiriku.
“Saya minta pulang” kataku lirih.
“ Ok, kamu bisa pulang tapi 3 bulan gaji tidak aku berikan, kalau kau tak kembali” katanya sambil menyodorkan Hpnya kepadaku.
Ternyata mas Bagus menelponku.
  Ya mas aku pulang” jawabku tanpa pedulikan apa yang di katakan.
Esok siangnya aku dah sampai di bandara. Tiga jam naik trevel sudah sampai ke rumah. Seperti mimpi ya.....semuanya seperti mimpi. Aku tak tahu rasanya badan ini. Ku terlalu kalut. Ketika turun dari trevel rumahku gelap. Semua lampu mati kecuali lampu teras. Kulihat jam 02.00.
            “Sudah mas” kataku pada sopir trevel.
            “ Nggak ditemini sampai dibukakan pintu?”  tawarnya.
            “Nggak, trimakasih......” jawabku.
            Pak sopirpun melajukan kendaraanya. Ku buka pintu pagar pelan-pelan. Ku duduk di kursi teras. Semua masih seperti setahun lalu saat ku tinggalkan, tak ada yang berubah hanya sedikit kotor. Dulu rumah itu aku bangun. Aku ingin membina keluarga dengan mas Bagus pacarku sejak sekolah. Keluarga sederhana yang sejahtera, tapi.....Lamunanku terpecah. Sebuah sepeda motor masuk kehalaman.
“ Mas Bagus....” tak tersadar suaraku lirih.
“Ndri” mas Bagus menyapaku tersentak.
              Mas Bagus tergopoh-gopoh turun dari sepeda dan membukakan pintu. Semua lampu di nyalakan.
              “Asnala” kataku.
              Dia menunjuk kamar ibuku. Ibuku terperanjat saat mendengar suarku.
              “Nala”, Sambil ku ciumi.
              “Nala maafkan ibu” kembali kataku terlontar.
              “ Sudahlah Ndri” sapa ibu sambil ikut berjongkok memelukku.
              Sampai subuh kami bertiga berbincang kesana kemari mengabarkan saudara sambil ku buka koper bawaanku. Suasana kaku. Hanya ibu yang mencercaku dengan pertanyaan-pertanyaan. Suara subuh berkumandang.
              “Andri, Bagus kalian sholat jamaah, terus tidur dulu” mas kata ibuku.
Tanpa sepatah kata Bagus berdiri mengambil air wudlu. Kami berdua berjamaah. Ku tak tahu, sejak mas Bagus mengucap Bismilah, air mata ini tak dapat terbendung lagi. “Haruskah ini berakhir” tanyaku dalam hati. Aku sudah tak bisa khusuk. Lafal-lafal yang ku ucapan tak tahu lagi benar atau salah.
              Aku bangun sudah jam 10,  luar kamar sudah ramai saudara dan tetangga yang ingin mengabarkan kedatanganku. Begitu seharian kejadianya.
Sore hari selepas asar baru bisa bicara sama mas Bagus. Aku dulu yang membuka pembicaraan. Kata yang telah ku simpan berhari-hari.
              “Mas sebelumnya aku minta maaf bila aku nanti salah” pintaku pada mas Bagus. Dia hanya diam duduk berhadapan denganku di ruang tamu.
              “Apa betul yang di katakan mbak Sri, mas pacar mas minta dinikahi?” tanyaku.
              Lagi-lagi mas Bagus hanya menganggukan kepala.
              “Siapa dia” tanyaku ingin mendengar suara mas Bagus.
              “Nurlina” jawabnya lirih.
              “Astagfirlloh.....” tak segaja kata-kataku keluar agak keras.
              “Nurlina, suami pak Herman paman kamu?”  sambungku.
              Mas Bagus menganggukkan kepala. Kami terdiam . Ku menanti kata selanjutnya dari Mas bagus. Tak ada..........dia tak mengucap kata sepatahpun. Ku artikan aku sudah tidak di butuhkan dalam keluarga ini.
“Mas mari kita sowan ke rumah orang tuwamu” ajakku.
              Tak sampai setengah jam sudah sampai di rumah mertuaku yang hanya tetangga desa. Ketika ku ucapkan salam di depan pintu ternyata yang menjawab hampir semua kakak dan adik iparku. Rupanya sudah mempersiapkan diri menyambut kedatanganku.
              “Maafkan Andri pak” kataku sambil sungkem pada  mertuaku laki perempuan.
“Tidak Ndri....maafkan Bagus” kata yang keluar dari mertuaku laki-laki sambil memelukku.
Setelah semua bersalaman aku dan mas Bagus duduk berdampingan di tengah-tengan duduk mereka.
“Bagaimana kabarmu Ndri?” tanya mertuaku.
“Baik pak, saya sehat?” jawabku kaku.
“Alnala sudah mau kau ajak?” tanyanya lagi memecah kesunyian.
“Belum ..., tapi sudah mau mendekat” jawabku penuh harapan.
Sunyi lagi semua mata tertuju padaku. Tak ada yang mengajukan pertanyaan atau menyapaku lagi. Aku merasa tak berguna lagi di keluarga ini.
“Maaf pak bila kata-kata nanti ada yang salah. Kedatangan saya kesini saya mau menyerahkan kembali mas Bagus ke keluarga ini karena kami sudah tidak mempunyai pandangan yang sama. Saya......tidak bisa mengabdi dengan baik sebagai istri” kataku tersendat.
“ Andri....maafkan anakku Andri maafkan.....” suara keras mertua perempuanku pecah sambil menangis. Beliau memeluk erat aku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kakak mas Bagus menghampiri mertuaku dan melepaskan pelukanya.
“Apa sudah kamu pikirkan keputusanmu Ndri...” tanyanya lagi.
“Maaf pak....saya pergi karena mas Bagus menginginkan bisa beli mobil, Sekarang pun saya hanya memenuhi keinginan mas Bagus” jawabku.
“Lalu kamu....?” tanya belia lagi.
“Ini nasib saya pak, apapun yang terjadi harus saya jalani” jawabku lagi.
            Suasana makin kaku. Pertanyaan demi pertanyaan berjarak lama. Akhirnya aku pamitan untuk pulang. Bukan mas  Bagus lagi yang mengantarku tapi adiknya yang bernama Ridho.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lentera Kepiluan

Gadis Senja

Setangkai Mawar Kuning