cerpen Goresan Hati Membawaku Melangkah Terbang
Goresan Hati Membawaku Melangkah
Terbang
Hari ini aku libur kerja. Di tempat
kerjaku yang baru lumayan enak. Tuan rumah sering berlibur ke luar negri.
Seperti hari ini, aku hanya bersih-bersih rumah, masak buat ku makan sendiri
dan nyantai menikmati indahnya kota Hongkong.
Pikiranku melayang-layang tentang
kejadian masa laluku.
Mas Parno
suamiku memperhatikan perempuan lain. “Mas aku tahu kau tertarik sama Ida,”
kataku suatu malam. Dengan nada tinggi dia menjawab,” Kamu jangan fitnah, demi
Allah aku tidak punya pikiran seperti itu”. “ Kamu ketemuan kan tadi sama Ida,
itu smsnya dia”, Timpalku. Dengan nada lebih keras dia menjawab “, Duh gusti
aku difitnah”. “Braaakkk” sauara candela diterpa angin membubarkan lamunanku.Memang
beberapa hari kota ini hujan disertai angin. Udara dingin membuatku malas ke
luar rumah.
Sambil menutup pintu aku
teringat, lima tahun lalu. Anak pertamaku klas 3 SMP yang nomer dua baru umur
setahun. Suamiku mas Parno karyawan di sebuah pabrik mie instan dan aku menjadi
guru tidak tetap di SMP negeri, untuk ukuran hidup sederhana cukuplah. Bisa
bangun rumah, beli sawah, beli mobil walaupun tidak keluaran terbaru sudah
paling bagus di desaku kala itu.
Suatu ketika aku dan suamiku
mas Parno terlena dengan kebahagian, canda
dan kepercayaan yang ada. Dia sering nongkrong bersama teman-temanya.
Semula main catur di tetangga sebelah rumah. Setelah bosen agak jauh, di warung
kopi cethe hingga larut malam. Suatu hari ketika belanja aku ditanya oleh bu
Aniah tetangga jauh, “ Mbak Lis, tadi malam pak Parno pulang jam berapa”. “
Wah, jam berapa ya?” jawabku sambil mengingat-ingat. “ Lho suaminya pulang kok
nggak tahu,” lanjut bu Ani. “Bapak kalau keluar bawa kunci sendiri, Manggak bu
saya duluan,” jawabku sambil meninggalkan toko belanjaan.
Mulai hari itu aku sering
memperhatikan suamiku. Kejanggalan-kejagalan memang ada, tapi aku harus tahan
emosi tak boleh asal curiga. Hari-hari terus berlalu semakin banyak orang yang
membicarakan suamiku. Tak tahu mereka segaja atau tidak sampai ke telingaku.
Sudah pukul 12 malam. Mas
Parno belum juga pulang. Aku coba
hubungi dengan sms. Beberapa kali-kali tak menjawab. Ku gendong anak
perempuanku, dengan pelan ku keluarkan sepeda motor, ku dorong sampai pinggir
jalan.Takut anak laki terbangun, baru ku start menembus dinginya malam. Aku
coba mendatangi tempat-tempat yang biasa mas Parno nongkrong. Sudah 3 warung
cethe yang ku datangi, semua sudah tutup. Detak jantungku berdetak
kencang. Aisya beberapa kali mengeliat,
tanda dia tak nyaman tidur di gendongan. Sepeda motor ku parkir di depan warung
pak Jali. Sambil duduk diantara bangku aku membetulkan gendongan. Aku coba
beranikan diri untuk menelpon. Tak di jawab. Selang beberapa menit, terdengar
suara sepeda motor. Sorot lampu keluar dari rumah mbak Mufid berjarak dua rumah
dari warung . Mbak Mufid perempuan cantik yang suaminya kerja di Malasya.
Sepeda motor langsung di gas
kencang. Sesampainya di depan warung di rem mendadak. “ Ya Allah…..mas Parno,”
tanpa ku sadari kata itu keluar dari mulutku entah keras atau lembut. Badanku
terasa panas meriang. “Ayo pulang,” ajak mas Parno dari atas sepeda motornya.
Antara sadar dan tidak sepeda motor ku naiki mengikuti mas Parno dari belakang.
Ketika berbelok di halaman, Aisya yang kugendong menangis keras. Sepeda motor
ku parkir. Tanpa sepatah kata mas Parno membuka pintu, memasukan sepeda motor. Sambil
membujuk Aisya ,”huz…huz…huz…..’’. Aku pergi
ke tempat tidur. Selang beberapa menit mas Parno pun membaringkan tubuhnya di
sampingku. Masih tak ada kata- kata diantara kami berdua.
Sepanjang malam, tak ada yang
bisa tertidur. Aku dan mas Parno bergantian pindah posisi tidur. Aisya sesekali
merengek dengan mata terpejam. Setelah
ku elus tertidur lagi.
Terdengar suara shola, pertanda subuh datang. Kulirik anakku
pulas, aku bangun dan keluar kamar. Ku ambil air wudlu, mas Parno mengikutiku. Kami
berjama’ah. Sejak Aisya lahir kami jarang berjama’ah karena bergantian menjaga
Aisya.
Setelah
salam, sambil melipat mukena aku sudah tak kuat menahan kataku, “ Mas, sebagai
istri apa yang kurang dari diriku”
“ Aku tidak
melakukan apa-apa dengan Mufid”, Sebutnya.
“Apakah kesalahanku tidak pernah bisa di maafkan?”
emosiku meluap.
“Aku sadar
mas, selama hidup berdua pasti aku pernah berbuat yang tidak kamu sukai, tapi mengapa
kau tega sakiti hatiku,” kata ku dengan
keras. Kali ini aku benar-benar emosi, mas Parno seakan tak bersalah, mengagap
aku percaya begitu saja kejadian semalam.
Dengan suara
keras dan derai air mata, aku mengulang-ulang” Mas….maafkan aku, jangan kau
sakiti hatiku mas……mas….mas…mengapa kamu tega kepadaku”, sambil bersujud
mencium telapak kakinya.
Asya menangis keras. Anakku
laki-laki juga menyalakan lampu kamarnya, pertanda dia juga sudah bangun. Dari
luar terdengar suara mertuaku laki-laki memanggil suamiku, “Parno, Parno….”
Sambil mengetuk pintu dengan keras.
Aku segera
masuk kamar menghampiri Asya. Mas Parno membuka pintu untuk ayahnya, sayub
terdengar suara mertuaku, “ Ini masih pagi, malu di dengar tetangga.” Kemudian
mas Parno di ajak ke rumah ayahnya yang hanya satu meter dari rumahku.
Sudah jam Sembilan lebih,aku tidak
berangkat kerja, mataku bengkak dan air mata tetap berderai. Anak laki-lakiku
dan mas Parno berangkat tanpa sarapan, hanya ada nasi. Mertuaku menghampiriku.
“Lis..maafkan
Parno, sebenarnya sudah beberapa kali aku ingatkan,” katanya membuka
percakapan.
“ Kamu yang
sabar, kamu sedang di coba, kasihan anak-anak bagaimana nantinya. Hanya kamulah yang bisa merawat mereka. Hanya
kamu yang bisa saya harapkan. Mudah-mudahan Parno segera sadar.” Mertuaku
menuturiku.
Masih banyak
lagi. Aku hanya bisa menundukkan wajah sambil beberap kali mengusap derai air
mata.
Hari demi hari masih begitu
saja, sudah hampir tiga minggu. Tak ada
senyum di keluargaku, bedanya mas Parno tak lagi ke luar rumah. Datanglah dua
orang laki-laki mencari mas Parno. “ Ada apalagi ini ya Allah”, pikirku.
Terdengar sayup ada pembicaraan serius. Beberapa saat setelah tamu pulang.
“ Mas ada
urusan apa orang itu tadi?’’ Tanyaku
“Pingin tahu
rumahku, Jawabnya lirih.
“Untuk apa
kamu pinjam uang sebanyak itu mas?”
cercaku
“ Usaha tapi
gagal, aku ditipu?” Jawabnya.
“Usaha
apa?’’lanjutku pingin tahu.
“Kamu tidak
usah banyak tanya nanti ku sahur sendiri.” Jawabnya penuh rasa percaya diri.
Beberapa hari kemudian datang
juga beberapa orang, tujuanya sama. Menagih hutang pada Mas Parno. Berangsur-angsur
mobil di jual, kemudian hutang pada koperasi perusahaan mas Parno, tanah
terjual, sepeda motor masih saja ada orang yang datang menagih. Setiap ku
tanya,“Aku di tipu, aku ditipu, aku di tipu” selalu itu jawabanya. Sejak itu
aku tak pernah bertanya lagi, di tipu, diberikan Mufid, diberikan Ida atau
untuk ajudi, aku sudah tak peduli. Perabot rumahpun sudah di bawa orang bahkan
burung kenari yang harganya tak sebanding dengan hutang di bawa juga. Mereka
keroyokan seakan takut tak akan mendapat apa-apa.
Tak terasa, hutangku pada
adikku sudah hampir 50 juta, belum lagi pada kakak iparku, toko tempat belanja
dan beberapa teman lain untuk hidup sehari-hari. Sedangkan Aditya anak laki-lakiku mulai masuk STM. Memerlukan
banyak uang. Saat adikku menelpon, ku beranikan diri menceritakan hal yang
sebenarnya terjadi. Ya, memang berat, tapi tak ada lagi yang boleh ku pinjami
uang.
“Mbak, mbak
harus usaha kerja!” saranya.
“ Siapa yang
mau mempekerjakan aku. Disini gajinya sangat kecil tidak bisa untuk sekolah
Aditya” Jawabku.
“ Dah kalau
mbak mau kesini nanti tak hubungkan ma agent, biar mbak cepet dapat tempat
kerja, biayanya aku bantu pinjami 10 juta, coba mbak cari kuranganya,” Suara dari
sana.
Hari-hari selanjutnya, aku
hanya sibuk kesana kemari mencari pinjaman uang. Tak satupun boleh. Ya aku
sadari, mereka ragu dengan keadaanku,
sudah tidak seperti dulu, makan saja sudah kesulitan lalu pakai apa ku
membayar. Mertuaku ternyata memperhatikanku. Aku dipanggil kerumah beliau.
“Kata
Aditya, kau akan pergi keluar negeri,” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
“ Ya ayah,”
Jawabku pendek.
“ Sudah Kau pikir
betul,” lanjutnya.
“ Saya sudah
tidak bisa berfikir,” derai air mata mengiringi jawabku.
“ Apa kau
yakin bisa menyelesaikan masalah?” pertanyaan selanjutnya.
Aku tak bisa
menjawab, hanya derai air mata dan suara sesegukan yang ada. Kami semua diam.
Jawaban dariku yang dinanti tak kunjung ada. Beliau melanjutkan, “ Tak usah kau
mencari hutang kesana kemari, semua perlu uang. Kalau kau bisa menjaga diri
demi anak-anakmu akan kucariakan biayanya.” Aku semakin tak bisa menjawab. Ku
peluk kedua mertuaku.
Tidak sampai sebulan, semua
persyaratan sudah lekap. Kini aku tinggal bersalaman kepada siamiku,mertuaku
perempuan, kakak iparku dan tetangga dekat. Ku peluk kedua anakku Aditya dan
Aisya. Hanya mertuaku laki_laki yang tidak ada. Beliau tidak tahan melihatku
berpisah dengan anak-anakku. Itu terkhir aku melihat wajah anak-anakku.
Gendengnulis1504201311:20
Komentar
Posting Komentar